Sunday, 28 December 2014

Pendidikan Indonesia Gawat Darurat?! Ah, Pak Menteri ‘bisa aja’

"Apa betul pendidikan Indonesia dalam keadaan gawat darurat?"

Kalau Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar & Menengah RI, Anies Baswedan, baru-baru ini menyebut pendidikan Indonesia dalam keadaan ‘gawat darurat’, maka hal ini merupakan warning yang harus disikapi sangat serius. Meskipun, entah istilah ‘gawat darurat’ ini digunakan untuk menilai buruknya prestasi menteri-menteri sebelumnya, atau pada kenyataannya kondisi pendidikan Indonesia memang sudah kelewat gawat dan genting. Prinsipnya, hal ini harus menjadi kewaspadaan bersama dan interospeksi tingkat nasional.

Terminologi ‘gawat darurat’ pada Standard Operating Procedure (SOP) dalam dunia medis, adalah suatu keadaan yang terjadinya mendadak mengakibatkan seseorang atau banyak orang memerlukan penanganan / pertolongan segera dalam arti pertolongan secara cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan semacam itu maka korban akan mati atau cacat / kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup, alias akan terjadi kerusakan permanen.

Apapun kondisinya, pendidikan Indonesia menjadi seperti saat ini jelas bukan peristiwa yang mendadak, dari yang tidak ada kemudian tahu-tahu menjadi ada. Kondisi saat ini merupakan buah dari proses perjalanan panjang bertahun-tahun lamanya.

Tapi bisa jadi, yang dikatakan Pak Menteri benar adanya. Karena selama ini kita merasa baik-baik saja, namun tiba-tiba tersadar sudah berada dalam kondisi yang parah. Sehingga level warning-nya langsung dipasang pada level gawat darurat, alias membutuhkan pertolongan segera. Ibarat penyakit jantung, yang prosesnya dimulai bertahun-tahun lamanya tanpa menimbulkan rasa sakit apapun, lalu menyerang dengan tiba-tiba. Dan penyakit jantung bisa juga diakibatkan komplikasi penyakit atau permasalahan yang bermacam-macam jenisnya. Rusaknya sistem pendidikan Indonesia bisa juga diakibatkan oleh bobroknya suri tauladan dan berbagai praktek KKN yang menggerogoti selama ini.

Kalau betul pendidikan kita dalam situasi gawat darurat, maka pendidikan Indonesia memerlukan ‘Pertolongan Pertama’. Dalam dunia medis, pertolongan pertama adalah perlakuan sementara yang diberikan sebelum pertolongan definitif dapat diberikan / dilakukan pencegahan agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah.

Sebelum bicara lebih jauh tentang pertolongan pertama apa yang dibutuhkan, mari kita lihat mengapa Pak Menteri sampai menggunakan istilah Gawat Darurat. Berikut beberapa data mengenai hasil buruk yang dicapai dunia pendidikan Indonesia pada beberapa tahun terakhir (dikutip dari www.kompas.com).



Sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan.
Nilai rata-rata kompetensi guru di Indonesia hanya 44,5. Padahal, nilai standar kompetensi guru adalah 75.
Indonesia masuk dalam peringkat 40 dari 40 negara, pada pemetaan kualitas pendidikan, menurut lembaga The Learning Curve.
Dalam pemetaan di bidang pendidikan tinggi, Indonesia berada di peringkat 49, dari 50 negara yang diteliti.
Pendidikan Indonesia masuk dalam peringkat 64, dari 65 negara yang dikeluarkan oleh lembaga Programme for International Study Assessment (PISA), pada tahun 2012. Anies mengatakan, tren kinerja pendidikan Indonesia pada pemetaan PISA pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2012, cenderung stagnan.
Indonesia berada di peringkat 103 dunia, negara yang dunia pendidikannya diwarnai aksi suap- menyuap dan pungutan liar. Selain itu, Anies mengatakan, dalam dua bulan terakhir, yaitu pada Oktober hingga November, angka kekerasan yang melibatkan siswa di dalam dan luar sekolah di Indonesia mencapai 230 kasus. Ditambahkan oleh Anies, data-data ini menunjukkan kinerja buruk pemerintah, yang perlu mendapat perhatian serius.
Nah, dari kondisi ‘so far so good’ mendadak disodori 6 kenyataan diatas, wajar bila membuat kening kita berkerut dalam.

Miripkah dengan penyakit jantung yang tiba-tiba datang menyerang? Sebenarnya tidak. Tidak sama sekali.
Peringatan-peringatan serta kegalauan mengenai sistem pendidikan nasional sudah sering disuarakan lantang oleh berbagai kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan nasional, misalnya sebagai berikut:

Betapa kurikulum dan model pembelajaran di level pendidikan dasar selama ini memaksa anak-anak SD memasuki sebuah kompetisi dengan target yang begitu membebani kehidupan ceria mereka. (Baca juga, Belajar dari Singapura, Entrepreneurship Bukan Sekedar Teori)
Betapa mereka sudah dijejali dengan hapalan rumus, beban mata pelajaran bahkan prestasi ujian nasional yang fantastis.
Betapa anak-anak SD sejak kelas 1 dan 2 sudah dijejali PR yang diberikan oleh para guru mereka. PR memang penting, tapi tidak untuk dijejalkan kepada mereka. (Baca juga, Etika Mengantri vs Pintar Matematika)
Betapa malunya para guru SD ketika mendapati kenyataan anak-anak didiknya gagal masuk atau diterima di SMP favorit. Akhirnya, lalu memaksakan berbagai strategi khusus yang ujung-ujungnya menjejali siswa/i dengan beban belajar tambahan yang makin berat. Anak-anak SD akhirnya makin terhanyut dalam kompetisi/persaingan antar sekolah.
Betapa para orang tua begitu ketakutan dan dihantui rasa malu ketika anaknya kedapatan duduk di ranking di luar 10 besar, atau bahkan diluar 20 besar di kelasnya.
Betapa bangganya luar biasa orang tua ketika anaknya duduk di peringkat 1, 2 atau 3 di kelas, sehingga tak tahan untuk tak bercerita ke tetangga dan sanak saudara tentang prestasi anaknya. Akibatnya menimbulkan persaingan diantara orang tua. Sekali lagi, persaingan diantara orang tua, yang menimbulkan korban di pihak para anak yang mereka banding-bandingkan prestasinya.
Betapa masa kecil anak-anak SD dihabiskan untuk ikut kursus ini, kursus itu dan kursus segala macam, hanya untuk memastikan ranking-nya di kelas terjaga aman.
Betapa pemaknaan ‘prestasi’ dan penghargaan hanya sebatas prestasi belajar. Sehingga kurang menghargai prestasi soft-skill dan budi pekerti. Perbuatan mulia terhadap sesama yang dilakukan oleh anak-anak SD kurang “diperhitungkan” sebagai sebuah prestasi. Misalnya memberi penghargaan bagi seorang anak yang paling rajin membaca dan selalu tersenyum kepada teman-temannya ketika masuk kelas. Atau, memberi penghargaan kepada anak yang paling rajin membantu teman-temannya yang membutuhkan bantuan. Anak-anak semacam itu seharusnya layak mendapatkan penghargaan “Student of the week”. (baca juga, Belajar dari Bersekolah di Australia)
Dan masih banyak kegalauan lainnya yang diteriakkan selama ini.

Karena warning kali ini disuarakan oleh seorang Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru saja dilantik, maka efeknya jauh lebih menggema. Banyak orang terhenyak bangun dari “so far so good”, kemudian tergopoh-gopoh memikirkan dan mencari Pertolongan Pertama terhadap kegawat-daruratan.

Pendidikan adalah kunci utama untuk menghantarkan meledaknya angkatan kerja di Indonesia pada 2025, menjadi sebuah kekuatan bangsa.
Jadi, terima kasih kami ucapkan kepada Pak Menteri yang akhirnya dengan lantang menyuarakan kagalauan selama ini. Lalu, sekarang saatnya Pak Menteri memimpin aksi Pertolongan Pertama terhadap kondisi Gawat Darurat ini. Kita siap bahu membahu untuk keluar dari masalah ini. Tidak ada kata terlambat, kini saatnya kita bergotong-royong.

Kesimpulannya, Pak Menteri kali ini memang benar…

2 comments:

  1. pertolongan pertama pada emergency ini, aktor utamanya adalah orang tua dan guru, sayangnya hanya beberapa dari mereka yang peka dengan kondisi ini, sebagiannya lagi memilih cuek, merasa tak penting meningkatkan kualitas. berharap besar generasi muda, jebolan sarjana pendidikan khususnya bisa terus meningkatkan kafaah untuk jadi guru dan orang tua... mari sama-sama terus belajar..salam semangat:)

    ReplyDelete
  2. #guru dan orang tua...#guru dan orang tua yang baik

    ReplyDelete