Kalau kita mengacu kepada pandangan arsitek ekonomi pasar
bebas Adam Smith, pemerintah sebaiknya tidak ikut campur dalam masalah-masalah
ekonomi, melainkan diserahkan pada kekuatan mekanisme pasar. Alasannya, melalui
mekanisme pasar masalah-masalah ekonomi mulai dari alokasi, produksi,
distribusi dan konsumsi bisa dilakukan secara lebih efisien. Campur tangan
pemerintah justru dikhawatirkan akan menumbulkan distorsi.
Pandangan klasik adam smith yang sangat sederhana tersebut
terbukti sangat ampuh. Berbagai peristiwa ekonomi di berbagai belahan dunia
membuktikan bahwa Negara-negara yang mengikuti perekonomian pasar lebih cepat
maju, sedangkan Negara-negara yang mengabaikan mekanisme pasar tertatih-tatih
atau bahkan ambruk dan tak berhasil mensejahterakan rakyat mereka.
Awalnya, keampuhan perekonomian pasar mendapat tantangan
sewaktu terjadi depresi besar-besaran tahun 1930-an. Sejak itu orang percaya
pada preskripsi Keynes bahwa pemerintah perlu ikut campur untuk mengatasi
berbagai masalah ekonomi yang dihadapi dan membawa masyarakat ke arah yang
diinginkan bersama. Setelah Berjaya selama kurang lebih empat decade, teori
Keynes juga mendapat tantangan sebab terbukti kurang ampuh dalam menghadapi
penyakit staglasi tahun 1970-an. Pakar-pakar ekonomi aliran moneteris, aliran
sisi penaaran maupun aliran ratex sependapat bahwa peran pemerintah perlu
dikurangi.
Yang menjadi masalah, apakah setelah melihat apa yang terjadi
akhir-akhir ini, terutama setelah krisis ekonomi global 2008/2009, kita tetap
pada pendapat semula agar menyerahkan perekonomian pada pasar? Kita memang
mengakui bahwa mekanisme pasar sangat ampuh. Tetapi dalam dunia yang semakin
kompleks ini kita harus hati-hati. Lebih jelas walau kita menyarankan agar
berbagai aspek dalam perekonomian diatur oleh mekanisme pasar, tetapi hendaknya
kita tidak naif bahwa segala-galanya akan diserahkan kepada pasar sebagaimana yang diinginkan oleh
pakar-pakar aliran monetaris, aliran sisi penawaran, dan terutama sekali aliran
Ratex.
Dalam kajian ekonomi politik ketiga aliran yang disebut diatas
yaitu aliran monetaris, aliran sisi penawaran, dan aliran Ratex, dikelompokkan
dalam neo-liberalisme. Neo-liberalisme mengimplikasikan semakin kuatnya
tuntutan deregulasi dan debirokratisasi, privatisasi, dan pengurangan
program-program kesejahteraan social. Sebagai catatan, di Negara-negara
kapitalis maju seperti Amerika Serikat dan eropa barat kecendrungan kearah
neo-liberalisme dimaksudkan untuk lebih mengefisienkan perekonomian. Berbagai
peneltian memang menunjukkan bahwa dana yang dikelola oleh pemerintah banyak
yang tidak efisien. Tetapi apakah preskripsi yang ditawarkan neo-liberalisme
cocok untuk Indonesia?
Gejala semakin kuatnya arus neo- liberalism di Indonesia harus
diwaspadai, sebab tekanan agar pemrintah mundur dan perannya digantikan oleh
pasar bisa dan kenyataannya memang sering dimanfaatkan oleh Negara-negara maju
dan perusahaan –perusahaan multinasional untuk menggeruk keuntungan. Lebih dari
itu tekanan agar peran Negara semakin dikurangi ini bisa dimanfaatkan oleh
pelaku-pelaku ekonomi besar dan kuat untuk mengangkangi asset Negara dan
menggilas perekonomian rayat kecil. Dalam mengahadapi kecendrungan seperti yang
disebutkan terakhir ini justru peran dan campur tangan emerintah diperlukan
untuk membela kepentingan nasional dan perekonomian rakyat.
Sehubungan dengan hal ini perlu diingatkan bahwa pandangan
utama dari neo-liberalisme berbeda dengan liberalism klasik. Kalau dalam
liberlasime klasik peran pasar lebih diutamakan karena lebih efisien, tetapi
dalam neo-liberalisme pasar digunakan sebagai penentu segala-galanya. Padahal,
dibelakang neo-liberalisme itu ada kepentingan tersembunyi dari pemerintah dan
swasta asing. Oleh karena itu, walaupun ide ekonomi pasar sangat menarik,
tetapi melihat pasar pada masa sekarang mudah sekali ditunggangi oleh pihak
asing, maka banyak yang mengombinasikannya dengan campur tangan pemerintah.
Pada tahun ’80-an sesungguhnya ada keinginan Soeharto untuk
menciptkan system ekonomi campuran yang dirasa pas untuk Indonesia. Model yang
digunakan Soeharto sejak tahun ’80-an hingga pertengahan tahun ’90-an meniru
system yang digunakan di Jerman dan di Jepang, dimana Negara menyatu dan
mengarahkan perekonomian kapitalis yang baru tumbuh melalui protesi dan
subsidi. Model seperti ini selain berhasil di jerman dan di jepang, juga
berhasil diterapkan oleh empat macan asia ( Singapura, Taiwan, Korea Selatan,
dan Hongkong), yang kemudian juga ternyata berhasil di Malaysia, Thailand, dan
Indonesia. Sebagai buktikeberhasilan system ini, pada pertengahan tahun ’90-an
Indonesia termasu sebagai salah satu “miracle economy” di Asia.
Mungkin karena mendapat banyak pujian, dalam dasawarsa
terakhir era pemerintahan Soeharto, Indonesia makin memberi peran pada pasar,
dan mengurangi campur tangan pemerintah melalui deregulasi dan debirokratisasi.
Akhirnya, liberalisme yang diadopsi Soeharto kebablasan. Waktu Negara-negara
Asia ditimpa krisis tahun 1997/1998, kita mengalami kemerosostan ekonomi paling
parah.
Mengapa terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997/1998?
Sehubungan dengan hal itu ada dua versi pendapat. Menurut versi pertama, krisis
terjadi karena kebijakan pembangunan yang dijalankan pada tahun-tahun terakhir
pemerintahan Soeharto terlalu liberal. Kebijakan yang terlalu liberal ini telah
menghancurkan perekonomian yang dibangun dalam jangka waktu lama. Dengan
demikian, jalan keluar dari krisis menurut versi pertama ini adalah
diperlukannya intervensi pemerintah untuk mengatur perekonomian.
No comments:
Post a Comment