Tuesday, 16 December 2014

Pasar atau Negara??



Kalau kita mengacu kepada pandangan arsitek ekonomi pasar bebas Adam Smith, pemerintah sebaiknya tidak ikut campur dalam masalah-masalah ekonomi, melainkan diserahkan pada kekuatan mekanisme pasar. Alasannya, melalui mekanisme pasar masalah-masalah ekonomi mulai dari alokasi, produksi, distribusi dan konsumsi bisa dilakukan secara lebih efisien. Campur tangan pemerintah justru dikhawatirkan akan menumbulkan distorsi.
Pandangan klasik adam smith yang sangat sederhana tersebut terbukti sangat ampuh. Berbagai peristiwa ekonomi di berbagai belahan dunia membuktikan bahwa Negara-negara yang mengikuti perekonomian pasar lebih cepat maju, sedangkan Negara-negara yang mengabaikan mekanisme pasar tertatih-tatih atau bahkan ambruk dan tak berhasil mensejahterakan rakyat mereka.
Awalnya, keampuhan perekonomian pasar mendapat tantangan sewaktu terjadi depresi besar-besaran tahun 1930-an. Sejak itu orang percaya pada preskripsi Keynes bahwa pemerintah perlu ikut campur untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi yang dihadapi dan membawa masyarakat ke arah yang diinginkan bersama. Setelah Berjaya selama kurang lebih empat decade, teori Keynes juga mendapat tantangan sebab terbukti kurang ampuh dalam menghadapi penyakit staglasi tahun 1970-an. Pakar-pakar ekonomi aliran moneteris, aliran sisi penaaran maupun aliran ratex sependapat bahwa peran pemerintah perlu dikurangi.
Yang menjadi masalah, apakah setelah melihat apa yang terjadi akhir-akhir ini, terutama setelah krisis ekonomi global 2008/2009, kita tetap pada pendapat semula agar menyerahkan perekonomian pada pasar? Kita memang mengakui bahwa mekanisme pasar sangat ampuh. Tetapi dalam dunia yang semakin kompleks ini kita harus hati-hati. Lebih jelas walau kita menyarankan agar berbagai aspek dalam perekonomian diatur oleh mekanisme pasar, tetapi hendaknya kita tidak naif bahwa segala-galanya akan diserahkan kepada  pasar sebagaimana yang diinginkan oleh pakar-pakar aliran monetaris, aliran sisi penawaran, dan terutama sekali aliran Ratex.
Dalam kajian ekonomi politik ketiga aliran yang disebut diatas yaitu aliran monetaris, aliran sisi penawaran, dan aliran Ratex, dikelompokkan dalam neo-liberalisme. Neo-liberalisme mengimplikasikan semakin kuatnya tuntutan deregulasi dan debirokratisasi, privatisasi, dan pengurangan program-program kesejahteraan social. Sebagai catatan, di Negara-negara kapitalis maju seperti Amerika Serikat dan eropa barat kecendrungan kearah neo-liberalisme dimaksudkan untuk lebih mengefisienkan perekonomian. Berbagai peneltian memang menunjukkan bahwa dana yang dikelola oleh pemerintah banyak yang tidak efisien. Tetapi apakah preskripsi yang ditawarkan neo-liberalisme cocok untuk Indonesia?
Gejala semakin kuatnya arus neo- liberalism di Indonesia harus diwaspadai, sebab tekanan agar pemrintah mundur dan perannya digantikan oleh pasar bisa dan kenyataannya memang sering dimanfaatkan oleh Negara-negara maju dan perusahaan –perusahaan multinasional untuk menggeruk keuntungan. Lebih dari itu tekanan agar peran Negara semakin dikurangi ini bisa dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku ekonomi besar dan kuat untuk mengangkangi asset Negara dan menggilas perekonomian rayat kecil. Dalam mengahadapi kecendrungan seperti yang disebutkan terakhir ini justru peran dan campur tangan emerintah diperlukan untuk membela kepentingan nasional dan perekonomian rakyat.
Sehubungan dengan hal ini perlu diingatkan bahwa pandangan utama dari neo-liberalisme berbeda dengan liberalism klasik. Kalau dalam liberlasime klasik peran pasar lebih diutamakan karena lebih efisien, tetapi dalam neo-liberalisme pasar digunakan sebagai penentu segala-galanya. Padahal, dibelakang neo-liberalisme itu ada kepentingan tersembunyi dari pemerintah dan swasta asing. Oleh karena itu, walaupun ide ekonomi pasar sangat menarik, tetapi melihat pasar pada masa sekarang mudah sekali ditunggangi oleh pihak asing, maka banyak yang mengombinasikannya dengan campur tangan pemerintah.
Pada tahun ’80-an sesungguhnya ada keinginan Soeharto untuk menciptkan system ekonomi campuran yang dirasa pas untuk Indonesia. Model yang digunakan Soeharto sejak tahun ’80-an hingga pertengahan tahun ’90-an meniru system yang digunakan di Jerman dan di Jepang, dimana Negara menyatu dan mengarahkan perekonomian kapitalis yang baru tumbuh melalui protesi dan subsidi. Model seperti ini selain berhasil di jerman dan di jepang, juga berhasil diterapkan oleh empat macan asia ( Singapura, Taiwan, Korea Selatan, dan Hongkong), yang kemudian juga ternyata berhasil di Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Sebagai buktikeberhasilan system ini, pada pertengahan tahun ’90-an Indonesia termasu sebagai salah satu “miracle economy” di Asia.
Mungkin karena mendapat banyak pujian, dalam dasawarsa terakhir era pemerintahan Soeharto, Indonesia makin memberi peran pada pasar, dan mengurangi campur tangan pemerintah melalui deregulasi dan debirokratisasi. Akhirnya, liberalisme yang diadopsi Soeharto kebablasan. Waktu Negara-negara Asia ditimpa krisis tahun 1997/1998, kita mengalami kemerosostan ekonomi paling parah.
Mengapa terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997/1998? Sehubungan dengan hal itu ada dua versi pendapat. Menurut versi pertama, krisis terjadi karena kebijakan pembangunan yang dijalankan pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Soeharto terlalu liberal. Kebijakan yang terlalu liberal ini telah menghancurkan perekonomian yang dibangun dalam jangka waktu lama. Dengan demikian, jalan keluar dari krisis menurut versi pertama ini adalah diperlukannya intervensi pemerintah untuk mengatur perekonomian.

No comments:

Post a Comment